Menjadi Mahasiswi

Menuju semester 3 menyandang predikat mahasiswi. Aku tetep gini-gini aja. Nggak banyak berubah dari SMA. Tetap selengekan, masih dicintai sinar matahari (baca: gelap), dan nggak suka mekap. Kecuali, gincu yang ku pake; makeover creamy lust lipstick yang twilight buff nomor 8. 

Walaupun masih banyak teman-teman mahasiswi yang punya ideologi macam diriku ini; bahwa make up itu belum menjadi suatu kebutuhan hidup. Tapi, sebagai perempuan aku punya ketakutan kalau-kalau tetep nggak bisa dandan.  Dan lebih takut kalau nggak ada ketertarikan buat tau tentang make up.

Tapi kayaknya, udah bawaan dari kecil. Disaat anak-anak cewek seumurku dulu milih main masak-masakan sama temen cewek lainnya, aku lebih milih main sama cowok-cowok. Ke sawah cari Belut, ke kebon cari Singkong, naik pohon nyolong buah Mangga, main petasan cabe, atau pas  lagi puasa ikut teriak-teriak bangunin orang sahur. That's why kayaknya kenapa aku masih belum becus jadi perempuan. Disaat (mungkin) teman-teman mahasiswiku bangun pagi untuk 'macak' sebelum kuliah, aku lebih milih menyiapkan dagangan; roti isi (macam-macam) hehehe. Habis itu baru mandi dan siap-siap langsung caw ke kampus.

Kadang aku iri sama mahasiswi yang sangat merawat diri. Misal, pas nggak kuliah mereka maskeran, luluran or doing something yang berguna bagi kecantikan seorang perempuan. Aku? Kalau libur cuma tura-turu seharian, atau kalau lagi produktif ya main tenis, yang mana akan membuatku semakin dicintai matahari. Tapi lebih sering iri kalau teman-temanku lebih memilih hedon untuk beli-beli alat make up, aku lebih milih  hedon untuk beli-beli jajan sampai kalut. Gimana nggak gembrot.

Menjadi mahasiswi, bagiku, cukup rumit dan penuh polemik perdandanan. Hikz

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hore!

Tenis dan Kerudung

Perempuan